Enam
puluh delapan tahun usia kemerdekaan Indonesia, namun Indonesia masih belum
juga terbebas dari buta aksara. Bahkan Indonesia diklaim sebagai negara dengan jumlah
buta aksara terbesar di dunia (Kementrian Pendidikan Nasional, 2012). Dan
ironisnya 64 persen diantaranya, yakni 5,1 juta jiwa penderita adalah perempuan
(www.voaindonesia.com, 2012) dengan rata-rata berusia 35-65 tahun
(www.republika.co.id, 2009).
Berangkat
dari keprihatinan ini, empat mahasiswa ITS yakni Hamida, Sony, Arizky, dan
Putri, ingin merubah kondisi Ibu-Ibu yang merupakan guru rumah tangga agar
dapat membaca dan menulis melalui program Arisan Baca Tulis. Arisan Baca Tulis,
merupakan program pengabdian masyarakat yang diselenggarakan di wilayah Keputih
Tinja, Sukolilo, Surabaya. Program ini adalah wujud realisasi dari Program
Kreativitas Mahasiswa yang didanai oleh DIKTI.
Keputih
Tinja dipilih karena berdasarkan survei, mayoritas penduduknya yang sebagian
besar bekerja sebagai pemulung dan tukang becak tidak bisa membaca dan menulis.
“membaca aja tidak bisa, apalagi menulis,” ujar Mbak Rully, salah satu koresponden yang diwawancarai Tim.
Pada umumnya, sebagian besar masyarakat di sana
memang telah putus sekolah. Tidak hanya itu, kondisi ekonomi yang tergolong
keluarga pra sejahtera menyebabkan mayoritas penduduk di sana cenderung nrimo
atau tidak bisa mempertahankan hak mereka.
“Kami berharap, melalui program ini, kami bisa
memberdayakan Ibu-ibu agar dapat menularkan ilmunya kepada keluarga mereka
masing-masing. Apalagi, tahun 2015 adalah era globalisasi yang deras atau
disebut AEC, sehingga mencerdaskan bangsa sendiri adalah wajib hukumnya bagi
kami,” ujar Hamida selaku ketua tim.
Arisan Baca Tulis tidak sekedar program untuk
Ibu-ibu agar bisa membaca dan menulis. Lebih jauh lagi, adalah harapan untuk
bangsa Indonesia untuk mentas dari kebodohan dan buta aksara. (Ar)